Breaking News

Rabu, 27 Mei 2015

ANAK JALANAN VS PENDIDIKAN

Lmnd.blogsprot.com Hidup menjadi anak jalanan bukanlah merupakan harapan dan cita-cita seorang anak Tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan bercita-cita menjadi anak jalanan Anak merupakan bagian dari komunitas seluruh manusia di muka bumi Tanpa terkecuali anak jalanan Mereka bukan binatang, sampah, atau kotoran yang menjijikkan Anak jalanan juga manusia yang mempunyai rasa dan hati. Dikejar-kejar, ditangkap, diboyong ke truk secara paksa, diinterogasi bersama-sama dengan preman, pencuri, perampok, bahkan pembunuh tanpa memikirkan bagaimana cara hak-hak mereka bisa terpenuhi Usaha-usaha represif haruslah dihindari dan menjadi cara terakhir dalam menertibkan anak jalanan Cara tersebut sangat tidak baik bagi perkembangan mental anak Pencegahan merupakan cara yang terbaik dalam mengatasi anak jalanan Apabila faktor-faktor yang menyebabkan mereka turun ke jalanan dapat diminimalisir maka bukan tidak mungkin pula aktifitas anak jalanan dapat berkurang. Setiap anak merupakan aset yang akan meneruskan cita-cita suatu bangsa, untuk mencetak anak-anak yang kelak dapat menjadi tulang punggung bangsanya harus dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial yang sesuai dengan masa tumbuh kembang suatu bangsa Salah satu definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah Seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada tempat-tempat lain yang merupakan ruang-ruang publik yang memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti Pasar, Alun-Alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dan lain sebagainya. Sampai saat ini istilah “Anak Jalanan” belum tercantum dalam Undang-Undang apapun Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut tentang anak-anak terlantar Pasal 34 UUD45 menyebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” Dalam konteks ini paling tidak ada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu? Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “Bapak Bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak Di sana disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan " Begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”. UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak, Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”. Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidak konsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak. Kasus Anak jalanan, faka menunjukkan bahwa anak jalanan di berbagai tempat telah banyak kehilangan hak mereka sebagai anak. “Hak sipil” atau “hak sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan negara atas keselamatan dan kepemilikan”, adalah yang pertama yang terenggut dari kehidupan anak jalanan Banyak kasus yang menunjukkan bahwa anak-anak jalanan seringkali tidak di anggap sebagai warga negara Mereka dilarang untuk bertempat tinggal di suatu kampung, atau bahkan diusir oleh aparat pemerintah di tingkat kampung hanya karena mereka tidak memiliki KTP, padahal hak asasi manusia tidak boleh diabaikan hanya karena status kependudukan seseorang Lagi pula peraturan tentang KTP hanya boleh dikenakan pada orang dewasa, bukan anak-anak. Dengan diabaikannya Hak-hak sipil, akibatnya anak-anak jalanan otomatis juga akan kehilngan hak-hak sosial yang semestinya menjamin mereka untuk menikmati standar kehidupan tertentu Tidak diakuinya seorang anak sebagai warga negara erat kaitannya dengan tidak tercatatnya kelahiran anak tersebut Padahal pengakuan Hak sipil pertama-tama harus diwujudkan dengan pencatatan kelahiran/akta kelahiran. Dengan kata lain, akta kelahiran merupakan pengakuan pertama negara atas keberadaan dan status hukum seorang anak Dengan akta itu pemerintah memiliki alat dan data dasar dalam mengembangkan rencana dan anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya bagi anak-anak. Tidak tercatatnya kelahiran seorang anak secara memadai menunjukkan bahwa kebaradaan dan kebutuhan mereka tidak diantisipasi secara memadai pula Artinya si anak memang tidak pernah dianggap ada dalam konteks kenegaraan, oleh karena itu tidak ada pula kebutuhan yang harus dipenuhi Anak-anak seperti ini beresiko tinggi untuk terhambat dalam memasuki jenjang sekolah, akses terhadap pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial lain, serta rawan mendapat perlakuan salah dan eksploitasi dari berbagai pihak. dari itu pemerintah haruslah tidak lagi memandang para gepeng dari sudut pandang pendekatan kriminal, penangkapan para gepeng,dikejar kejar,dikurung dipulangkan kedaerah asalnya tapi hendaklah pemerintah melakukan pendekatan pemberdayaan seperti memberikan tempat dan pendidikan contohnya Memberikan pembinaan berupa bimbingan belajar bagi anak jalanan. Memberikan sosialisasi pada orang tua anak jalanan tentang pentingnya pendidikan bagi masa depannya. Mengusahakan agar anak jalanan bisa mendapatkan pendidikan yang layak Mengajarkan tentang moralitas bagi anak jalanan sehingga nantinya diharapkan mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki moral tinggi kenyataan sejarah bahwa sebuah generasi sangat menentukan eksistensi dan perjalanan sebuah bangsa. Kejayaan dan kehancuran suatu bangsa tergantung kepada kualitas generasinya. Generasi berkualitas yang ideal adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin bangsa yang tidak hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran,Kepribadian ini merupakan pancaran dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar dan luhur Generasi seperti inilah yang bisa diharapkan menjadi penerus bangsa, yang akan membawa bangsanya menjadi bangsa besar, kuat, dan terdepan Generasi seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan dijajah oleh penjajah asing demi untuk memperkaya dirinya dan keluarganya. Tetapi sebaliknya, mereka rela berkorban untuk melindungi negerinya dari cengkraman penjajahan dalam bentuk apapun. Indonesia telah merdeka terhitung sejak 69 tahun yang lalu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita pahami bahwa pendidikan memiliki posisi strategis dalam mewujudkan generasi pemimpin bangsa! jika negara memiliki visi dan paradigma kuat-akan melahirkan generasi dengan kualifikasi pemimpin Meski demikian suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya, Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan Sayangnya, bangsa ini mengadopsi pragmatisme dalam semua sistem hidup bermasyarakat, tak trekecuali sistem ekonomi dan pendidikan Dalam pragmatisme, tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah kebenaran itu berguna atau tidak. Begitupula yang terjadi di negeri ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem pendidikannya Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan tidak mensejahterakan rakyat; maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang Bahkan dari tingkat dasar. Lompatan-lompatan kebijakan selama dua dekade terakhir, membawa pergeseran signifikan bagi kualitas generasi kita ke arah perusakan, Sikap pemerintah yang sekedar mengikuti arus global dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri. Pendidikan yang berorientasi kepada kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang diperdagangkan hinga Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan pragmatis Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture) Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa? Kerjanya di mana? Dan gajinya berapa? Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan kerja dengan gaji yang besar Jika program studi atau satuan pendidikan tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan pasar. Akibat dari diberlakukannya sitem pendidikan pragmatis yang berorientasi memenuhi kebutuhan industri dan pasar sangat berbehaya, dimana fungsi pendidikan yang menanamkan nilai di tengah masyarakat menjadi tereduksi Manusia yang memiliki mental mencari kebenaran, menyuarakan kebenaran, melakukan perubahan di tengah masyarakat sangat langka ditemui dalam kehidupan yang disetir oleh arus pragmatisme ini Kemudian yang tersisa adalah manusia-manusia egois yang sekedar hidup untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan keluarganya saja tidak heran jika kita melihat banyak mahasiswa yang tenggelam dalam dunia akademik demi mendapat nilai IPK tinggi hanya demi bisa diterima dalam sebuah perusahaan. Demikianlah, pragmatisme pendidikan adalah sistem yang sangat berbahaya yang akan mengancam kelangsungan generasi ini, perlu ada upaya untuk melepaskan diri dari cengkraman arus pragmatisme pendidikan yang notabene satu paket dengan Neolibralisme di negeri ini. Dirangkum : Didik Arianto Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) / Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By LMND BENGKALIS