Breaking News

Selasa, 02 Desember 2014

Pernyataan Sikap

Pernyataan Sikap: Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi EN LMND Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun... Malam (Kamis 27 November 2014), Penolakan kenaikan harga BBM kembali memakan korban Jiwa. Muhammad Arif 17 Tahun Warga Pampang (Anak Anggota SRMI Kota Makasar) meninggal dunia pada saat Polisi sedang melakukan Represifitas terhadap Aksi mahasiswa di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI). Arif dari keluarga yg tidak mampu sangat merasakan dampak dari kebijakan kenaikan harga BBM, makanya Arif turut bergabung dalam Aksi yg di lakukan oleh Mahasiswa di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi sayang Aksi bukan di sambut dengan baik oleh Aparat keamanan tapi malah di sambut dengan Semprotan Air Water Canon, maka bentrokan tak terhidarkan lagi, perlu di ketahui Arif meninggal dunia akibat terlindas Mobil Water Canon. Oleh karena itu kami EN LMND mengintruksikan kepada seluruh Cabang ELMND di seluruh Kota/Kabupaten dan Provinsi di seluruh Indonesia untuk Mengelar Aksi ke Kantor Polres, Polda, DPRD untuk mengecam keras tindakan Represif yg dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan Menuntut: 1. Mengutuk dengan Keras tindakan represif yg dilakukan oleh Aparat Kepolisian dalam bentrokan di kampus UMI yang menewaskan kawan kami Arif. 2. Meminta kepada Komnas HAM, Komisi III DPR RI, KOMPOLNAS agar menyelidiki kasus kekerasan Aparat Kepolisian dikampus UMI. 3. Pemerintah Jokowi-JK harus bertanggung Jawab dan segera Mencopot Kapolres Makasar, Kapolda Sulawesi Selatan dan Kapolri. 4. Tolak Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 5. Laksanakan Pasal 33 UUD 1945. "Salam Gotong royong"
Read more ...

CABUT SUBSIDI BBM = MENZOLIMI RAKYAT




Assalamu’alaikum Wr.Wb.!
Hidup MAHAsiswa…!!!
Penolakan kebijakan pencabutan subsidi rakyat (BBM) yang kami lakukan (LMND Bengkalis) bukanlah tidak beralasan namun cukup beralandasan yang fundamental dengan memperhatikan terkait BBM merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak dan terkait kedaulatan Nasional.

Pemerintahan Jokowi-JK telah menaikkan harga BBM pada tanggal 18 November yang lalu dengan alasan subsidi untuk BBM terlalu membebani anggaran belanja Negara dan subsidi BBM tidak tepat sasaran.

Pakar ekonom Ichsanuddin Noorsy, beliau  berpendapat jika harga BBM subsidi dinaikkan 3.000/liter maka penambahan presentease masyarakat miskin menjadi 1, 23 % atau sekitar 4,5 sampai 4,8 juta jiwa masyarakat miskin.

Kemudian menurut pemerintah, anggaran subsidi BBM  80% justru dinikmati oleh kelas menengah dan orang kaya. Namun, kami meragukan akurasi data tersebut. Kalaupun benar, pemerintah tidak seharusnya membuat kebijakan yang mengorbankan pembeli BBM dari kalangan menegah kebawah. Seharusnya pemerintah memperbaiki mekanisme distribusi BBM agar tepat sasaran.

Tetapi subsidi BBM tidak bisa dilihat hanya dari segi sebagai bahan bakar transportasi. Lebih dari itu, BBM juga menyangkut kegiatan sektor produksi rakyat, seperti: pertanian, nelayan, industri rumah tangga, dan lain-lain. Kalau BBM dinaikkan biaya produksi sektor tersebut akan ikut naik, dan bisa mematikan sektor produksi rakyat.

Kenaikan harga BBM juga berpengaruh ke sektor industri. Ini akan memacu kenaikan biaya produksi. Dan, bagi pengusaha, supaya margin  keuntungan tetap terjaga, pilihannya: menaikkan harga barang hasil produksi atau memangkas upah pekerja.

Indonesia kaya energi. Masalahnya sumber-sumber energi kita dikuasai oleh asing: sekitar85-90% ladang minyak kita dikuasai perusahaan asing90% produksi gas kita dikuasai oleh 6 perusahaan asing, dan sekitar 70% produksi batubara kita dikuasai asing.

Selain itu kenaikan harga BBM hanyalah kedok pemerintah untuk mendorong liberalisasi di sektor hilir. Untuk diketahui subsidi BBM mengganggu mekanisme pasar penjualan BBM. Sehingga korporasi SPBU asing sulit berkompetisi di dalam negeri. Kalau harga BBM jadi dinaikkan oleh Pemerintah, SPBU asing akan berlomba-lomba masuk ke dalam pasar Indonesia seperti Shell (Belanda), Patronas (Malaysia), dan Total E & P (Perancis) dan kini saluran pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik ketiga perusahaan asing itu telah ‘bertebaran’ di wilayah Jabodetabek, dan akan merambah ke kota-kota lainnya di Jawa dan Bali.

Namun, bukan hanya ketiga perusahaan itu yang akan ‘bermain’ dalam bisnis hilir migas Indonesia.  Pasca pemberlakuan UU Migas No.22/2001 telah  ada sekitar  105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Masing-masing perusahaan diberi ‘jatah’ membangun sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia.

Jadi, jelaslah bila kebijakan kenaikan harga BBM  adalah ‘pesanan’ pihak asing yang ingin mendominasi bisnis ritel BBM di Indonesia. Alasan  ‘mulia’ dibalik kebijakan ini, seperti penghematan anggaran  tampak tak lebih dari penyesatan belaka, karena APBN justru lebih terbebani oleh utang Negara dan biaya rutin Pemerintah.

Berdasarkan ‘kesesatan-kesesatan’ tersebut, maka kebijakan kenaikan harga BBM sebagai bagian dari upaya  liberalisasi hilir migas ini harus ditolak. Kebijakan ini hanyalah ‘lampu hijau’ bagi pihak asing untuk meraup keuntungan dari industri migas nasional.

Untuk itu kami LMND Bengkalis menyatakan :
1.      Menolak kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat.
2.      Hentikan Libralisasi minyak dari hulu ke hilir yang menghilangkan pendapatan Negara.
3.      Cabut Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 yang membuka pintu kepada swasta khususnya asing untuk menguasai dan mengambil keuntungan dari pengelolaan migas.
4.      Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 agar terwujutnya kesejahteraan sosial rakyat Indonesia. 
5.      Mengecam tindakan Represif pihak Kepolisian kepada rakyat yang telah mengakibatkan jatuhnya korban kawan kami Almarhum M. Arif (terlindas Mobil Water Canon Polisi) di Makasar ketika melakukan unjuk rasa menolak kebijakan mencabut subsidi rakyat..

Bengkalis, 03 Desember 2014

Hormat Kami;
Koordinator Aksi



MIRZAL APRILIANDO
Read more ...

Jumat, 07 November 2014

ULFA : Emansipasi wanita dan BBM


LMND.Blogsprott.com Dalam setiap generasi selalu hadir pergerakan perempua semua tidak terlepas dari terjadinya sebuah ketidak adilan terhadap wanita kerna wanita selalu diidentikan pada kelas kedua dalam strata sosial dalam melihat penomena tersebut penulis coba menyambangi Nurul Ulfa Aktivis Perempuan Bengkalis Ulfa menyikapi hal tersebut tidak terlepas kerna masi adanya pengaruh budaya feodal,
menyikapi emansipasi wanita diindonesia tidak terlepas seorang tokoh wanita RA.Kartini sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas lalu merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori RA Kartini.
Untuk mengabadikan makna kepeloporan Kartini yang hampir menjadi figur sentral wanita Indonesia, maka tidak heran jika penampilan wanita kita di setiap tanggal 21 April, sarat dengan fenomena Kartini di kantor-kantor pemerintah, swasta. Bahkan sejumlah unit kerja seperti TV,Radio dll sengaja mensetting program siaran-siarannya sepanjang hari itu dengan nuansa ke-Kartinian.

Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan sebagaimana konon dialami Kartini dimasa perjuangannya. Terlebih disaat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupunpersamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.Menurut kamus besar bahasa Indonesia emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dl berbagai aspek kehidupan masyarakat
Emansipasi wanita ialah proses pelesapan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.
Dan bicara emansipasi wanita, 
Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar wanita mendapatkan hak  untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya. Agar wanita juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar wanita tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria.
Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa wanita menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan wanita memliki kelebihannya masing- masing.
Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok ‘kebebasan’ para wanita.  Jadi akan menjadi sangat miris bila pengertian emansipasi wanita ini lantas di anggap sebagai pemberontakan wanita dari kodrat kewanitaannya. Dimana wanita melupakan ‘kewanitaannya’ dan lebih menunjukkan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan ‘lahannya’ namun memaksakan agar ‘diakui’. Saat wanita lupa bahwa selain cerdas di luar sana juga harus cerdas didalam rumahnya.
Dan emansipasi wanitapun dijadikan kedok untuk memperdagangkan diri dalam balutan kontes putri dan ratu dengan tameng menguji kecerdasan kontestannya.Apakah hubungannya kecerdasan yang dinilai dalam balutan baju seksi dan wajah mempesona?? Dan ada juga yang menjual kecantikan untuk memperoleh ‘nilai’ lebih dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan status sosial, suatu bentuk pelacuran terselubung yang malah menghancurkan derajat wanita dimata pria.
Lantas di mana letak kebanggaan seorang wanita?? Jadi apa arti emansipasi bila akhirnya hanya menjadi olok-olokan??
Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi‘ perempuan generasi muda sekarang sudah telah banyak terlena dan terombang-ambing oleh arus globalisasi yang semakin mewarnai dan meracuni bangsa. Tidak sedikit efek dari era globalisasi ini berpengaruh negatif sehingga tidak menutup kemungkinan partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa pada masa mendatang tidak dapat berjalan, sehingga tidak ada lagi pembuktian bahwa perempuan mampu berdiri membangun bangsa. Bahkan, persoalan ini apabila dibiarkan dan tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan akan dapat menciptakan generasi muda yang bimbang dan tidak memiliki masa depan yang pasti.
Dewasa ini emansipasi seringkali disala artikan. Emansipasi sering kali menjadi alasan yang dicari bagi kaum perempuan, khususnya remaja putri untuk mendapatkan kebebasan seluas-luasnya, dan seringkali berlebihan kadarnya. Kita bisa melihat fakta-fakta yang terjadi di era ini, 
Permasalahan di atas menyebabkan status perempuan semakin tenggelam dalam kekelaman masa. Harapan, angan-angan untuk maju telah ternoda dengan kenyataan tersebut. Akibat dari permasalahan tersebut, perempuan semakin direndahkan. Tidak ada lagi rasa nasionalisme mengingat jasa pahlawan yang sudah memperjuangkan emansipasi. Harga diri wanita yang semakin rendah dengan perbuatan keji seperti itu jelas-jelas Raden Ajeng Kartini kecewa. Kecewa dengan kaum penerusnya yang menyalahgunakan perjuangannya  untuk meningkatkan harkat perempuan. Pembebasan atas diskriminasi pada perempuan seharusnya dimanfaatkan untuk mengembangkan dan membangkitkan eksistensi kaum perempuan secara terhormat, bukan menginjak dan menurunkan harga diri kaum perempuan itu sendiri.
Di zaman yang semakin maju dan semakin pesat ini apakah emansipasi perempuan akan dibiarkan seperti ini? Mengingat perjuangan para pahlawan yang mengabdikan dirinya hanya untuk bangsa tercinta ini. Sedikit pun mereka tidak mau menurunkan harga diri meski harus kehilangan nyawa.
Masih rendahnya keterlibatan dan partisipasi perempuan khususnya generasi muda di dalam pembangunan ekonomi, sosial, politik dan bidang lainnya yang bersifat membangun bangsa ditambah lagi oleh efek negatif globalisasi yang mempengaruhi pikiran-pikiran gene-rasi muda (perempuan) bangsa harus menjadi musuh bersama kita, dalam rangka menyukses-kan pembangunan menyeluruh di negeri ini.
Demi membangun bangsa ini agar menjadi lebih baik lagi, kaum perempuan tidak boleh melupakan hakikatnya sebagai seseorang perempuan yang mempunyai sumber ke-lembutan. Sudah selayaknya kaum perempuan perlu menyadari akan kodratnya. Perempuan diharapkan bisa menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan mem-punyai etika yang baik agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran wanita yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Wanita dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing-masing. Wanita telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, wanita juga harus sadar akan tugas utamanya. Tugas ini mampu untuk menyadarkan perempuan generasi muda untuk menjadi perempuan yang terhormat, berharga dan sebagai kebanggaan bangsa.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan jasa-jasa pahlawannya yang berjuang hanya untuk bangsa tercinta ini” ujar Ir. Soekarno. Kita seharusnya dapat meman-faatkan emansipasi perempuan yang sudah diperjuangkan Kartini dengan sebaik-baiknya, yaitu membekali diri untuk berpartisipasi membangun bangsa ini, mengharumkan nama kaum perempuan, membuat bangga bangsa dan tidak menjadi seseorang yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Emansipasi perempuan ini seharusnya dapat men-jadikan generasi muda perempuan yang cerdas bukan menjadi lemah. Jadikan perempuan sebagai subjek bagi bangsa ini dan tidak hanya menjadi objek. Sekaranglah saatnya generasi muda perempuan mencatatkan dirinya sebagai pelaku emansipasi yang mampu berdiri meng-ambil peran penting untuk membangun bangsa yang tercinta ini serta harus diingat bahwa emansipasi wanita jangan disalah artikan bahwa lelaki sebagai saingan tetapi emansipasi disini lelaki ialah sebagai petner atau kawan seperjuangan dalam mewujudkan tantan sosial yang baik,
saat penulis menyingung apakah ada pengaruh terhadap perempuan oleh kenaikan Harga BBM
ulfa memaparkan kenaikan tersebut tidak hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan atau angkutan umum saja. Para perempuan juga merasakan efek langsung kenaikan BBM tersebut.

Peran perempuan sebagai pengelola keuangan dalam rumah tangga membuatnya semakin terbebani manakala semua harga bahan pokok, pendidikan, jasa kesehatan, hingga susu formula ikut melambung. Tugas perempuan dan ibu akan semakin sulit dalam mengatur ekonomi rumah 
Tidak hanya itu,tidakan kekerasan dalam rumah tanggapun tentu bisa sja muncul efek sebuah kenaikan BBM akan menyebabkan sang suami akan menjaddi stres sehingga otomatis kekerasan muncul dan tidak dapat dipungkiri Efek dari kenaikan Harga BBM demi menyeimbangkan ekonomi keluarga tidak sedikit perempuan dari keluarga menengah kebawah mencari pekerjaan tambahan untuk menambah penghasilan.
"Beban perempuan jadi double. Beban di rumah serta pekerjaan," katanya.
Bahkan ada beberapa perempuan sampai menjajakan dirinya karena tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mendapat pekerjaan yang layak.
"Ibu akan semakin tertekan ketika tahu kemungkinan anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah. Langgamnya memang sekolah gratis, tapi biaya kanan-kiri dan samping hingga kini masih ada,"

katanya.
Penulis : DA

Read more ...

Selasa, 04 November 2014

TAN MALAKA, BAPAK REPUBLIK YANG TERLUPAKAN




Tan Malaka; sosok yang terlupakan. Di tengah gemuruh arus kemerdekaan yang hebat, ia hanya bisa menikmatinya dari alam kubur. Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh Tan; “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi”. Memang, akhirnya ia tewas, namun agaknya suaranya tak terdengar lantang di bumi bangsanya.

Ia pahlawan nasional. Presiden Sukarno mengesahkannya pada 1963. Tapi itu hanya sebuah peristiwa semu saja, yang beralibi untuk mengenang Tan. Pada masa Orba, namanya tenggelam begitu saja tanpa ada yang menyanggah. Ia dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Mungkin, perlakuan naif itu dilakukan, karena Orba merasa diri anti-komunisme.

Tan nyaris tak disebut dalam kisah-kisah heroik para pejuang. Pramoedya Ananta Toer, mengatakan bahwa Orba telah melakukan “pembodohan sejarah”, rakyat Indonesia dijejali dengan kebohongan lewat sekolah-sekolah. Boleh jadi, apa yang dikatakan Pram, mengarah pada Tan yang terlupakan. Sehingga, sejarah Indonesia akan mengalami ketimpangan; seolah ada tokoh-tokoh super yang ditampilkan berlebihan, ada juga yang tak dikenal sama sekali.

Tapi pahlawan bukan tokoh misterius. Ia ada untuk ditelaah perjuangannya, atau sekadar menilik kembali kejadian suram masa silam. Bukan untuk dielu-elukan, apalagi sampai didewakan. Seolah-olah, pahlawan telah menjadi mitos. Anggapan inilah yang kemudian menjadi sebuah jarak, antara masa silam dan masa sekarang. Padahal, apa yang terjadi sekarang, sebenarnya pun mirip dengan kejadian masa lampau. Sebenarnya, antara masa silam dan sekarang itu ada sebuah jembatan, ia adalah sejarah.

Siapa pula yang kenal dengan Tan Malaka? Sedikit sekali orang yang mengenalnya. Ia adalah tokoh yang berperan penting dalam kemerdekaan pascaproklamasi. Pada 1922, ia dibuang oleh pemerintah kolonilal ke Belanda karena dianggap “mengusik”. Dari sana ia berkelana ke banyak negara dengan berbagai nama samaran dan membawa ideologi; Marxisme. Bukan semata ia mempertahankan ideologinya, namun yang terpenting baginya adalah kemerdekaan Indonesia.

Pada 1942, ia kembali ke Indonesia diam-diam, setelah malang melintang di berbagai negara dengan keterasingannya. Ilyas Hussein nama samarannya, ia pergi ke Jakarta menemui tokoh pemuda, melakukan propaganda. Tentu mereka heran, ia yang mengaku bekerja di pertambangan batu bara di Banten, bisa mengutarakan gagasannya sehebat itu. Ternyata, nama Tan terkenal, karyanya; “Masa Aksi”, banyak dipelajari oleh kaum pergerakan, termasuk Sukarno.

Pascaproklamasi, Tan-lah yang mendesak pemuda agar segera melakukan proklamasi. Dengan pengaruhnya, Soekarno dan Hatta diculik golongan pemuda ke Rengasdengklok. Alhasil, proklamasi terlaksana. Tan tak hadir dalam kejadian penting itu, ia yang waktu itu menginap di rumah Sukarni(golongan muda) ditinggal oleh tuan rumahnya itu; ternyata Sukarnilah yang menculik Sukarno, sehingga Tan ditinggal, pada saat itu pun Sukarni tak tahu bahwa Hussein itu Tan. Ia jugalah yang menggerakan masa pada rapat akbar di lapangan Ikada.

Di tanah airnya sendiri, ia pernah dipenjara—lebih lama dari di luar negeri; dua setengah tahun. Pada 1946, ia ditangkap di Madiun, dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta. Sebelumnya, ia membentuk “Persatuan Perjuangan” yang intinya, menolak jalur diplomasi—ia menginginkan Indonesia merdeka seratus persen. Di tempat inilah ia bertemu dengan Jendral Soedirman. Akhirnya, dua sekawan ini bergerilya bersama kembali menghalau Agresi Belanda, setelah Tan bebas pada 1948. Saat itu, kemerdekaan Indonesia dalam keadaan genting; Soekarno, Hatta, Syahrir ditangkap oleh Belanda. Tan dan Soedirman pun berpisah, ia bergerilya ke Jawa Timur, sedang Soedirman ke Jawa Tengah.

Pemerintahan darurat dibentuk, Syafrudin Prawiranegara di Sumatra yang memimpinnya. Tan menolak, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamplet dan berpidato memproklamasikan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi, menggantikan Soekarno-Hatta yang tak lagi memegang kekuasaan; ia melakukan itu, karena Soekarno pernah memberikan testamen pada 1945 yang isinya, menyerahkan kekuasaanya apabila Soekarno ditangkap.
Dalam persembunyian itu, Tan melakukan propaganda agar rakyat berani melakukan gerilya terhadap Belanda. Di tempat itu juga, Tan mengkritik tentara devisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap rakyat. Soengkono mendengar kabar itu, akhirnya ia menugasi anak buahnya untuk mengintai Tan karena dianggap berbahaya untuk Republik Indonesia. Tan dinilai melakukan agitasi politik terhadap rakyat, guna merebut kekuasaan Soekarno.

Tan tewas oleh Tentara Republik Indonesia, di Selopanggung, pada 23 Februari 1949. Masih menjadi kontroversi siapa yang membunuh Tan. Harry Poeze, Sejarawan Belanda yang meneliti Tan, mengatakan jika yang mengeksekusi Tan adalah Tentara itu, atas perintah Soengkono. Tan tewas tanpa jejak, pemakamannya pun tak jelas. Ia dihujat dan dilupakan oleh negaranya sendiri. Ia kesepian, api semangatnya yang membara ternyata tak berarti apa-apa oleh ganasnya senapan.

Sejarah memang milik penguasa, kata seseorang. Demi kepentingan politik, sang pahlawan dibentuk atau ditiadakan. Yang hebat tambah menjadi hebat, hingga ditempatkan pada yang bukan tempatnya. Akhirnya, sang pahlawan hilang kehebatan, ketika ia ditempatkan pada dunia yang bukan kuasanya; dunia para dewa.

Tan tetap hebat, di tengah mahkluk sesamanya yang mendewakan manusia. Sebab, ia tak ditempatkan di dunia dewa-dewa seperti “Sang Pahlawan” lainnya.

*) Mahasiswa Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) Jakarta



Read more ...

WR SOEPRATMAN DAN LAGU "INDONESIA RAYA"


Wage Rudolf Soepratman

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menetapkan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Kenapa tanggal 9 Maret? Karena tanggal 9 Maret itu—tepatnya 9 Maret 1903—adalah hari kelahiran komponis besar Indonesia, Wage Rudolf Soepratman.

Memang, penetapan Hari Musik Nasional itu masih menuai kontroversi. Ada beberapa pihak yang kurang setuju. Bagi mereka, WR Soepratman bukan satu-satunya komponis Indonesia.

Kontroversi lainnya: tanggal dan tempat kelahiran WR Soepratman masih perdebatan. Ada yang bilang, WR Soepratman dilahirkan tanggal 9 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah. Yang lain berpendapat, WR Soepratman lahir di Jatinegara, Jakarta.

Tak banyak catatan tentang sosok WR Soepratman. Pada usia kecil, ia sudah ditinggal mati oleh ibunya. Sejak itu ia diasuh oleh kakak sulungnya, Roekijem Soepratijah, yang menikah dengan seorang Belanda bernama Van Eldik.

Sejak kecil, bakat musik WR Soepratman sudah nampak. Kebetulan, kakak sulungnya dan kakak iparnya juga pemain biola. Merekalah yang memberi dan mengajar WR Soepratman bermain biola. Hebatnya, Soepratman cepat menguasai alat musik itu.

Lantaran itu, Van Eldik memboyong Soepratman ke kelompok musiknya, Black and White Jazz Band. Saat itu usia Soepratman masih belasan tahun.

Pada tahun 1914, Van Eldik dan istrinya pindah tugas ke Makassar. Soepratman juga ikut diboyongnya. Di sanalah Soepratman bisa mengenyam pendidikan, yakni Europeesche Lagere School (ELS). Supaya bisa diterima di sekolah khusus orang Belanda dan Eropa itu, nama Soepratman ditambahi “Rudolf”. Tetapi itu hanya berlangsung sebentar. Belakangan, pihak sekolah mengetahui hal itu dan langsung mengeluarkan Soepratman dari sekolah itu.

Ia pindah ke Sekolah Dasar Angka Dua (2 Inlandsche School). Lalu, ia melanjutkan lagi ke Sekolah Guru. Setelah tamat, Soepratman sempat menjadi guru selama 3 tahun. Tetapi, rupanya, kakaknya keberatan dengan pekerjaan itu.

Setelah itu, Ia bekerja di kantor seorang pengacara keturunan Indo di Makassar. Dan, seperti kebanyakan keturunan Indo, pengacara itu bersimpati dengan gerakan Indische Partij, yang digagas oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Tjipto Mangungkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.

Kantor pengacara itu berlanganan koran-koran IP. Dan disitulah WR Soepratman mengenal ide-ide pergerakan. Itu pula yang mendorong ia pindah ke kota Bandung, Jawa Barat, yang saat itu menjadi pusat pergerakan IP. Di sana ia bekerja sebagai jurnalis di Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.

Di kota Bandung, ia beberapa kali pindah tempat bekerja. Ia sempat bekerja di Kantor Berita Alpena, lalu pindah lagi ke Kantor Berita Tionghoa-Melayu Sin Po. Di situ ia sering menulis berita tentang kaum pergerakan.

Dari pekerjaan sebagai penulis berita pergerakan, WR Soepratman mulai mengenal tokoh-tokoh pergerakan pemuda jaman itu, seperti Mohamad Yamin, Soegondo Djojopoespito, dan Mohammad Tabrani.

Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”

Tak jelas kapan lagu “Indonesia Raya” diciptakan WR Soepratman. Wartawan senior Alwi Shahab menuliskan, “Suatu hari, secara kebetulan WR Soepratman membaca artikel berjudul ‘Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat’ dalam majalah Timboel terbitan Solo.”

Soepratman merasa terpanggil oleh artikel itu. Ia merasa, seruan itu sengaja ditujukan padanya. Ada yang mengatakan, lagu “Indonesia Raya” diciptakan WR Soepratman tahun 1926. Itu bertepatan dengan Kongres Pemuda Indonesia I. WR Soepratman mendengar kabar pelaksanaan kongres itu dari Mohammad Tabrani.

Menurut Alwi Shahab, WR Soepratman berniat memperdengarkan lagu ciptaannya itu kepada peserta Kongres Pemuda Indonesia I. Namun, entah kenapa, Ia mengurungkan niat itu.

Versi lain mengatakan, WR Soepratman membuat lagu itu pasca Kongres Pemuda Indonesia I. Jadi, pada saat kongres pemuda I itu, Ia mendengar pidato berkobar-kobar dari Tabrani. Tabrani antara lain berseru, “Rakyat Indonesia, bersatulah.”

Kata-kata itu sangat menyentuh WR Soepratman. Ia kemudian menerjemahkan kata-kata itu melalui sebuah lagu berjudul “Indonees, Indonees”—nanti berubah judul menjadi “Indonesia Raya”.

Lagu itu diperdengarkan pertamakali pada Kongres Pemuda Indonesia II di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Saat itu, WR Soepratman mendatangi Ketua Sidang, Soegondo Djojopoespito, untuk meminta diberi kesempatan membawakan lagu ciptaannya.

Soegondo setuju, tapi ia meminta agar WR Soepratman tidak menyanyikan liriknya. Maklum, liriknya ada banyak kata “Indonees, Merdeka”. Soegondo khawatir, lirik lagu itu akan memancing dinas intelijen kolonial untuk membubarkan acara kongres. WR Soepratman setuju. Ia pun memainkan lagu ciptaannya itu menggunakan instrumen biola.

Usai kongres itu, lagu ciptaan WR Soepratman terkenal. Organisasi kepanduan turut mempopulerkan lagu itu ke tengah rakyat. Lalu, WR Soepratman berusaha merekam lagu itu. Ia kemudian menghubungi orang yang bernama Yo Kim Tjan.

Yo Kim Tjan merekam lagu itu. Dalam piringan hitam itu, lagu tak beralun dengan alat musik saja, melainkan ada suara Soepratman di sana. Pada tahun 1957, Yo Kim Tjan menyerahkan rekaman asli itu ke Djawatan Kebudayaan.

Gara-gara lagu itu, WR Soepratman beberapa kali berurusan dengan dinas intelijen Belanda (PID). Ia ditanya, mengapa dalam lagu itu banyak sekali kata “Indonees, Merdeka”. Maklum, penguasa kolonial sangat alergi dengan ide Indonesia merdeka. Lagu itu pun sempat dilarang.

Kapan lagu itu berubah nama menjadi Indonesia Raya? Pada tahun 1944, sebuah panitia yang ditugaskan mempersiapkan kemerdekaan ditugaskan mencari lagu Kebangsaan. Panitia itu dipimpin oleh Bung Karno. Panitia inilah yang beberapa kali mengubah lirik dan judul lagu itu. Pada tanggal 8 September 1944, sebuah keputusan rapat memutuskan mengubah judul lagu itu dari “Indonees, Indonees” menjadi “Indonesia Raya”.

Beberapa liriknya pun berubah. Diantaranya: “Indones, Indones, moelia, moelia, tanahkoe, neg’riku yang koecinta” menjadi “Indonesia Raja, Merdeka, merdeka, Tanahku, neg’riku jang kutjinta!.” Sedangkan “Indones, Indones, Moelia, Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja” diubah menjadi “Indonesia Raja, Merdeka, merdeka, Hiduplah Indonesia Raja.”

Lagu “Indonesia Raya” pun diputuskan sebagai lagu Kebangsaan. Sayang, WR Soepratman tak sempat melihat lagu ciptaannya itu menjadi lagu kebangsaan Indonesia Merdeka. Ia lebih dulu di panggil Tuhan Yang Maha Kuasa pada tanggal 17 Agustus 1939.

Selain lagu Indonesia Raya, Ia juga menggubah lagu-lagu nasional seperti Bendera Kita, Pandu Indonesia, Ibu Kita Kartini dan Di Timur Matahari. Khusus lagu “Di Timur Matahari”, separuh liriknya, yakni “Di timur matahari mulai bercahaya, Bangun dan berdiri kawan semua ” itu merupakan sub judul dalam risalah terkenal Bung Karno, Mencapai Indonesia Merdeka, yang ditulis tahun 1933.

Dalam Kamus Musik Indonesia disebutkan, lagu mars “Di Timur Matahari” diciptakan WR Soepratman tahun 1931. Artinya, sangat besar kemungkinan Bung Karno tertarik dengan lirik lagu WR Soepratman itu dan menjadikannya sub judul dalam karyanya.



Read more ...

AMILCAR CABRAL DAN PERJUANGAN PEMBEBASAN NASIONAL




Tanggal 20 Januari lalu, rakyat Afrika mengenang 41 tahun kepergian seorang pejuang terkemuka: Amilcar Cabral. Dia dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Guinea-Bissau dan Cape Verde.

Namun, bagi rakyat Afrika, kontribusi perjuangan Amilcar Cabral bukan hanya di negerinya, Guinea-Bissau, tetapi menjalar hingga seantero Afrika. Bahkan menginspirasi bangsa-bangsa dan rakyat tertindas di berbagai belahan dunia.

Cabral dibunuh oleh agen Portugis pada tanggal 20 Januari 1973. Saat itu, di tengah malam yang sunyi, seorang agen Portugis bernama Innocenta Canida, yang telah disusupkan dalam gerakan rakyat Guinea-Bissau selama bertahun-tahun, memberondongnya dengan senjata mesin.

Sekilas Perjuangannya

Kolonialis Portugis menjajah lusinan negara di Afrika, termasuk Guinea-Bissau dan Kepulaun Verde, selama 500-an tahun. Selama itu pula Portugis menjalankan perbudakan dan penjarahan secara sistematis terhadap negeri kecil itu.

Cabral lahir di tengah keganasan kolonialisme itu di Bafata, Guinea-Bissau, pada tanggal 12 September 1924. Ayahnya, Juvenal Lopez Cabral, adalah seorang guru dan pejuang anti-kolonial. Sementara ibunya, Iva Pinhel Evora, adalah seorang buruh di sebuah pabrik pemasok ikan.

Usia 8 tahun, Cabral ikut kedua orang tuanya ke Cape-Verde. Di sanalah ia bersekolah hingga sekolah menengah atas. Tahun 1940, Cape-Verde dilanda kekeringan dashyat. Sebanyak 50.000 tewas. Namun demikian, kolonialis Portugis tidak berbuat apapun. Kejadian itu benar-benar membuka mata Cabral untuk melihat kejahatan kolonialisme.

Pada tahun 1945, Cabral mendapat bea-siswa dari penguasa Portugis untuk belajar di Lisbon. Bea-siswa ini sebetulnya tidak cuma-cuma: penjajah Portugis berharap mahasiswa-mahasiswa cerdas ini bisa dikooptasi dan dijadikan administratur kolonial. Di sana Cabral mengambil studi ilmu pertanian.

Tetapi harapan kolonialis Portugis itu kandas. Di Lisbon, Cabral bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Afrika dari berbagai negara, seperti Augustinho Neto (pejuang kemerdekaan Angola) dan Eduardo Mondlane (tokoh utama Front Pembebasan Mozambik/FRELIMO). Mereka membentuk kelompok studi bawah tanah, yang mempelajari teori-teori politik–termasuk marxisme–dalam rangka menemukan jalan keluar pembebasan negerinya.

Tahun 1950-an, Cabral kembali ke negerinya sebagai sarjana pertanian. Ia melakukan perjalanan ke desa-desa. Yang menarik, proses turun ke bawah (Turba) itu membawa Cabral pada sebuah kesimpulan: strategi land-reform–sebagaimana ditempuh banyak gerakan kiri di berbagai belahan dunia–tidak cocok untuk Guinea-Bissau. Pasalnya, corak utama kepemilikan tanah di Guinea-Bissau adalah kepemilikan tanah kecil.

Sebaliknya, bagi Cabral, penindasan kolonial justru berkontribusi besar dalam menindas kehidupan petani negerinya. Misalnya, penguasa kolonial membuat aturan yang mencekik leher petani, seperti harga jual yang ditentukan penjajah, pajak yang selangit, petani dipaksa menanam tanaman tertentu, dan lain-lain.

Pada tahun 1956, bersama lima kawannya dari Guinea-Bissau dan Cape Verde, Cabral mendirikan partai bernama Partido Africano da Independecia da Guinea e Cabo Verde (PAIGC/Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Cape Verde). Partai inilah yang memimpin perjuangan pembebasan nasional Guinea-Bissau dan Cape Verde.

Awalnya, partai ini bergerak di perkotaan, dengan mengorganisir kaum buruh dan kaum miskin, kemudian merambat ke desa-desa untuk menyeret kaum tani dalam perjuangan. Sebulan setelah pembentukannya, PAIGC mengorganisir buruh di pelabuhan Bissau untuk melancarkan pemogokan. Namun, kolonialis merespon pemogokan itu dengan kejam. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menumpas pemogokan itu: 50 buruh tewas dan ratusan lainnya terluka.

Peristiwa itu menjadi pelajaran berharga bagi Cabral dan PAIGC. Pada sebuah konferensi partai di tahun 1959, PAIGC memutuskan untuk mengambil metode perjuangan bersenjata. Sebagai tahap awal, mereka mengambil taktik gerilya, yang dimaksudkan untuk menstimulasi keadaan agar rakyat memberontak. Taktik gerilya ini efektif untuk menciptakan teritori-teritori yang terbebaskan.

Pada tahun 1964, PAIGC memasuki tahap perjuangan baru, yakni membentuk sayap bersenjata bernama Angkatan Bersenjata Revolusioner Rakyat (FARP). Tak hanya itu, PAIGC mulai merekrut kaum buruh, petani, kaum miskin, dan anak-muda untuk terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan Portugis.

Perjuangan bersenjata itu efektif. Tahun 1966, PAIGC mengklaim berhasil membebaskan 50% teritori negerinya. Keadaan itu membuat kolonialis Portugis naik pitam. Akhirnya, tahun itu juga, Portugis melipat-gandakan tentaranya di Guinea-Bissau.

Namun, PAIGC tak mau kalah. Taktik gerilya mereka diarahkan makin opensif. Dengan dukungan persenjataan dari negeri-negeri kiri, seperti Kuba dan Uni Soviet, PAIGC makin keras menghantam tentara Portugis.

Tahun 1969, PAIGC berhasil membebaskan dua-pertiga wilayah Guinea-Bissau. Tak hanya itu, di tengah perjuangan gerilya, partai ini juga berjuang membebaskan rakyatnya dari buta-huruf. Hal tersebut membuat PAIGC terus mendapat simpati dari rakyatnya.

Alhasil, pada tahun 1970-an, Portugis mulai mengumpulkan berbagai kekuatan, dengan dukungan Amerika Serikat, untuk menghabisi PAIGC. Pada bulan November 1970-an, Portugis mengerahkan tentaranya dan pasukan bayaran untuk merebut Conakry, Ibukota Guinea, dan membebaskan orang portugis yang ditangkap oleh PAIGC.

Tak hanya itu, Portugis mulai ‘menanam’ agen di dalam tubuh PAIGC, yang bertugas menciptakan keretakan dan perselisihan di dalam tubuh partai revolusioner itu. Lalu, pada tahun 1972, intelijen Portugis (PIDE dan DGS) mulai berupaya membunuh Cabral dan tokoh-tokoh kunci PAIGC lainnya. Tetapi upaya itu menemui kegagalan.

Pada tanggal 8 Januari 1973, setelah pelaksanaan Pemilu di daerah yang dibebaskan, Cabral menyerukan pembentukan Majelis Rakyat Nasional sebagai jalan menuju Proklamasi Kemerdekaan. Namun, rencana itu benar-benar membuat Portugal kalang-kabut. Untuk mencegah upaya itu, pada tanggal 20 Januari 1973, mereka membunuh Cabral.

Kendati demikian, proklamasi Kemerdekaan Guinea-Bissau tidak bisa dihentikan lagi. Tanggal 24 September 1973, Kemerdekaan Guinea-Bissau diproklamirkan. Luís Cabral, saudara kandung Amilcar Cabral, ditunjuk sebagai Presiden.

Tak lama kemudian, tepatnya 25 April 1974, giliran rezim kolonial Portugal yang kena batunya. Sekelompok tentara yang menyebut dirinya Gerakan Angkatan Bersenjata (MFA), yang sudah muak dengan rezim fasis Salazar-Cateano, melancarkan pemberontakan militer. Rezim Fasis Portugal pun tumbang. Keadaan ini membuka jalan bagi dekolonialisasi semua jajahan portugal.

Faktor Yang Mendukung Kemenangan

Yang menarik, kendati menempuh perjuangan bersenjata, tetapi PAIGC tidak menapikan perjuangan di medan lain, seperti di lapangan ekonomi, politik, kebudayaan, dan pendidikan.

Pertama, di daerah-daerah yang sudah dibebaskan, PAIGC mempraktekkan apa yang disebut demokrasi revolusioner, yakni melalui pembentukan Komite Desa (Comite de Tabanca). Di setiap desa, ada komite yang terdiri dari lima orang. Paling minimal harus ada dua orang perempuan. Komite inilah yang mengatur soal pertanian, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan menyediakan logistik bagi pasukan gerilya.

Kedua, pembentukan koperasi pertanian dan lumbung rakyat. Bagi Cabral, ekonomi merupakan dimensi penting dalam perjuangan pembebasan nasional. Dalam konteks ini, PAIGC mendorong pertanian kolektif dan pendirian koperasi-koperasi pertanian.

Ketiga, PAIGC juga mendirikan pusat-pusat pendidikan dan layanan kesehatan di daerah yang dibebaskan. Di bidang pendidikan, target utamanya adalah memberantas buta-huruf. Di bidang kesehatan, PAIGC mendirikan 177 posko sanitarios (pusat kesehatan). Tak hanya itu, PAIGC juga membentuk Brigade Kesehatan, yang mendorong dokter-dokter berkeliling ke desa-desa.

Keempat, PAIGC membentuk semacam “Pengadilan Rakyat” di daerah yang terbebaskan. Pengadilan ini punya tiga hakim yang dipilih langsung oleh rakyat di desa-desa. Para hakim ini sewaktu-waktu dapat diganti apabila dianggap tidak bisa bekerja sesuai keinginan warga desa.

Bagaimana Memaknai Pembebasan Nasional

Amilcar Cabral juga punya kontribusi penting dalam pendiskusian soal perjuangan pembebasan nasional. Di sini, ia mencoba memberikan jalan keluar terhadap kegagalan sejumlah gerakan pembebasan nasional di berbagai negara bekas jajahan, termasuk negara-negara Afrika.

Di negara-negara tersebut, meskipun sudah merdeka secara politik, tetapi gagal mencapai kemajuan di lapangan ekonomi. Penyebabnya, struktur ekonomi kolonial tidak pernah dirombak total. Akibatnya, negara-negara ini tetap bergantung secara ekonomi-politik ke negara-negara bekas penjajahnya.

Menurutnya, perjuangan pembebasan nasional sebagai sebuah proses revolusi tidaklah berujung hanya pada momen ketika bendera nasional dikibarkan dan lagu kebangsaan dinyanyikan.

Cabral menjelaskan, sebagai sebuah revolusi, pembebasan nasional harus bermakna adanya transformasi kehidupan (bangsa/rakyat) ke arah yang lebih baik (emansipasi).

Pada tahap awal, emansipasi ini harus bermakna kemerdekaan nasional, yang menghapuskan segala bentuk dominasi asing. Dalam realitas politiknya, bangsa merdeka harus pandai-pandai memilih teman dan mendefenisikan musuh dalam rangka memastikan proses emansipasi nasional tetap berjalan.

Dalam “The Weapon of Theory” (1966), ia menegaskan, pembebasan nasional harus didasarkan pada hak setiap rakyat untuk bebas menentukan nasibnya sendiri. Perjuangan ini akan mengembalikan identitas, martabat, dan hak menentukan nasib sendiri orang-orang Afrika yang merdeka.

Aspek kedua dari pembebasan nasional ini adalah pembebasan penuh kekuatan produktif nasional dari segala bentuk dominasi asing dan rintangan sosial-ekonomi imperialistik. Pembebasan kekuatan produktif ini bermakna penentuan cara produksi yang tepat sesuai dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan rakyat, juga sesuai dengan tuntutan pengembangan kebudayaan rakyat, sehingga rakyat punya kapasitas untuk mengembangkan dirinya.

Untuk hal itu, dia mengingatkan, “perlu selalu diingat bahwa rakyat berjuang bukan hanya karena ide, untuk sesuatu yang ada di kepalanya….tetapi untuk keuntungan material, untuk hidup yang lebih baik dan damai, untuk membuat kehidupan mereka lebih baik dan menjamin masa depan anak-anak mereka.”

Artinya, bagi Cabral, perjuangan pembebasan nasional hanya akan bermakna jika membawa perubahan nyata dalam kondisi kehidupan rakyat. Dengan demikian, kemerdekaan akan kehilangan esensinya jika di alam kemerdekaan itu rakyat tetap tertindas dan terhisap, entah oleh bangsa asing ataupun bangsa sendiri.

Cabral juga tidak menapikan aspek pembebasan budaya, yang bertujuan menghapus budaya kolonialis/imperialis dan budaya lokal yang reaksioner. Ia menyerukan agar rakyat kembali kepada kebudayaan mereka sendiri, yang sesuai dengan lingkungan kehidupannya, dengan melempar jauh-jauh kebudayaan asing.

Namun, Cabral juga meyadari, bahwa perjuangan pembebasan nasional tidak bisa dititipkan pada satu tokoh ataupun pada sebuah organisasi politik. Maklum, Cabral menyadari lemahnya ideologi, program politik, dan cita-cita politik dalam gerakan pembebasan nasional. Terang-terangan ia bilang, “jelaslah bahwa perjuangan rakyat akan efektif hanya jika alasan untuk berjuang itu didasarkan pada aspirasi, impian, dan keinginan untuk keadilan dan kemajuan rakyat sendiri, bukan aspirasi, impian, dan ambisi setengah lusin orang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan kepentingan rakyat mereka yang sebenarnya.”

Tetapi, ke arah mana perjuangan pembebasan nasional itu? menuju emansipasi rakyat sepenuhnya, itu masih abstrak. Karena itu, Cabral terang-terangan memproklamirkan, “di sini hanya ada dua jalan kemungkinan bagi bangsa merdeka: kembali ke dominasi imperialisme (neo-kolonialisme, kapitalisme, dan kapitalisme negara) atau mengambil jalan menuju SOSIALISME.”



Read more ...

INILAH SOSOK 9 PRESIDEN PALING SEDRHANA DI DUNIA




Bagi sebagian orang di dunia, termasuk di Indonesia, kehidupan seorang Presiden identik dengan kemewahan. Banyak Presiden di dunia tinggal di rumah mewah, kemana-mana naik limusin, punya banyak pengawal, fasilitas serba mewah, gaji banyak, dan bisnis keluarga yang dijalankan oleh anak dan istri.

Namun, tidak semua Presiden seperti itu. Di belahan dunia lain, terutama di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin yang tak beda jauh dengan kehidupan rakyatnya. Bagi mereka, menjadi Presiden adalah melayani rakyat.

Berikut nama-nama Presiden yang cukup sederhana di dunia:

1. Fernando Lugo

Dia mendapat julukan “pastor kaum papa”. Maklum, sebelum menjadi kandidat Presiden, Fernando Lugo adalah pastor yang sangat getol membela kaum tertindas. “Bila ada hal yang paling menyakitkan saya, maka itu adalah ketidakadilan dan terutama sekali ketidakadilan sosial,” kata Lugo.

Begitu dilantik menjadi Presiden tahun 2008, Lugo langsung menyatakan tidak akan menerima gajinya sebagai Presiden sebesar 4000 USD per bulan. “Saya tidak membutuhkan gaji itu, yang sebetulnya hak kaum miskin,” katanya.

Selama menjadi Presiden, Lugo memilih tetap tinggal di rumahnya yang sederhana. Ia juga selalu berpakaian sangat sederhana: kemeja panjang atau lengan pendek.

Rikard Bagun dalam laporannya berkepala “Terperangah atas Asketisme Lugo” menulis, “Setiap tamu, termasuk kami bertiga dari Indonesia (saya, Budiman, dan Martin), ikut menikmati makanan harian Lugo berupa singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah (salad), dan ikan. Jenis makanan sehari-hari rakyat biasa di Paraguay. Tidak ada yang istimewa.”

Rikard juga melihat, pada hari pertama di jabatannya, Lugo dan Hugo Chavez menyantap makanan rakyat Amerika Latin, seperti ubi kayu, jagung, dan pisang rebus. Sayang, 22 Juni 2012 lalu, Fernando Lugo dikudeta oleh sayap kanan melalui parlemen.

2. Jose ‘Pepe’ Mujica

Jose Mujica adalah salah satu pemimpin Gerakan Pembebasan Nasional Tupamaro (MLN-T). Ia menghabiskan 14 tahun di penjara karena aktivitas gerilya melawan kediktatoran.

Ia memenangkan pemilu tahun 2009 dan resmi menduduki jabatan Presiden pada Maret 2010. Sejak menjadi Presiden Uruguay, Pepe Mujica memilih tinggal di rumahnya di pinggiran kota Montevideo. Di rumahnya itu tidak ada pelayan. Hampir semua pekerjaan rumahnya, seperti memasak, dikerjakan sendiri.

Selama menjadi Presiden, Pepe Mujica menyumbangkan 90 persen gajinya untuk menambah anggaran sosial negerinya. Pada tahun 2010, kekayaannya pribadinya tak lebih dari 1800 AS dollar atau sekitar Rp 18 Juta. Ia juga hanya menggunakan Volkswagen Beetle keluaran 1987 sebagai kendaraan pribadinya.

Hidup sederhana memang filosofi hidup politisi kiri ini. Ketika ia menjadi anggota parlemen, ia memang sudah sangat sederhana. Sampai-sampai Petugas parkir gedung parlemen sangat kaget ketika melihat Mujica datang hanya mengendari motor vespa.

3. Hugo Chavez

Hugo Chavez lahir dari keluarga kelas pekerja. Ia tumbuh dalam kehidupan yang sangat miskin bersama neneknya. Begitu terpilih sebagai Presiden tahun 1998, Chavez menggunakan kekuasannya untuk memberdayakan kaum miskin.

Dia juga adalah sosok Presiden yang sederhana. Seperti Fernando Lugo dan Jose Mujica, Chavez juga menyumbangkan sebagian besar gajinya untuk anggaran sosial. Chavez juga dikenal Presiden yang sangat merakyat. Ketika melakukan kunjungan, Ia hanya menggunakan jeep atau menumpangi truk.

Ketika hujan lebat mengguyur Venezuela, yang berakibat banjir hebat di mana-mana, Chavez membuka pintu istana Kepresidenan sebagai tempat penampungan. Baginya, Istana Kepresidenan adalah rumah rakyat.

Chavez adalah pembebas bagi rakyat Venezuela. Ia menggunakan kekuasaannya untuk merebut kembali kontrol terhadap sumber daya dan kemudian menggunakannya untuk memberantas kemiskinan, membebaskan rakyat dari buta huruf, menggratiskan pendidikan dan kesehatan, menciptakan toko sembako murah di seantero negeri, dan uan pensiun bagi lansia.

4. Fidel Castro

Fidel Castro adalah salah satu pemimpin Revolusi Kuba tahun 1959. Sejak itu, Kuba bergerak menuju sosialisme. Tak heran, karena langkahnya yang berbeda dengan jalan imperialisme itu, Fidel Castro dan Kuba banyak didiskreditkan.

Yang sering terdengar, Fidel dianggap diktator dan hidup sangat mewah. Majalah Forbes, misalnya, menuding Fidel punya simpanan 900 juta USD di luar negeri. Berbekal tudingan palsu itu, media-media mainstream menempatkan Castro sebagai orang terkaya di dunia.

Pada kenyataannya, Castro hidup sangat sederhana. Ia tak punya limusin seperti Obama. Pada kenyataannya, hanya menerima gaji sebesar 900 peso (Peso Kuba tidak punya nilai di pasar internasional, tetapi nilai domestiknya setara kira-kira 36$ per bulan atau sekitar Rp 350 ribu). Di Indonesia, kita hampir tidak menemukan lagi ada buruh yang dibayar di bawah Rp 350 ribu per bulan. Tetapi Kuba membayar gaji Presidennya hanya Rp 350 ribu.

Fidel sendiri sudah membantah tudingan Forbes. Ia bahkan menantang Forebs, “Jika anda bisa membuktikan saya punya uang 1 dollar di luar negeri, saya akan mundur dari jabatan saya.”

Dalam wawancaranya dengan Ignacio Ramonet, seperti ditulis di buku “Fidel Castro: My Life”, sekalipun gajinya pas-pasan, ia mengaku tidak sekarat dalam kelaparan. Sudah begitu, gaji yang kecil itu harus dia sisipkan untuk menyetor iuran ke partai.

5. Nelson Mandela

Siapa yang tak kenal Nelson Mandela? Dia merupakan pemimpin terkemuka pembebasan Afrika Selatan dari kolonialisme dan apartheid. Namanya begitu termasyhur di seluruh penjuru Afrika dan dunia.

Meski begitu, Mandela tetap merupakan sosok yang sederhana. Begitu menjadi Presiden tahun 1994, Mandela rutin memotong gajinya untuk disumbangkan bagi anggaran sosial. Malahan, kemudian, ia menyerahkan sepertiga gajinya untuk membantu anak-anak.

Rumahnya di Johannesburg maupun di desa asalnya, Qunu, terbilang sederhana dan tak ubahnya dengan rumah masyarakat umum.

Tahun 1994, ketika negerinya didera utang warisan rejim lama, Mandela menyerukan pejabat negerinya mengencangkan ikat pinggang. Namun, sebagai langkah awal, ia memulai dengan memotong gajinya sendiri dan gaji Wakil Presiden.

6. Rafael Correa

Rafael Correa adalah ekonom bergelar PhD jebolan University of Illinois, AS. Namun, sekalipun menimbah ilmu di AS, Correa justru sangat anti-neoliberal.

Pada saat Luis Alfredo Palacio, Correa menjadi salah satu menterinya. Saat itu Correa berani menentang proposal IMF dan Bank Dunia. Sayang, tindakannya tidak direstui Presiden Ekuador saat itu. Correa pun mundur dari jabatannya. Namun, sejak peristiwa itu, nama Correa makin populer dan dikagumi rakyat.

Correa sendiri terbilang pemimpin sederhana. Tanggal 6 April lalu, ketika APBN Ekuador diancam defisit, Correa mengeluarkan dekrit untuk membekukan pembayaran gaji pejabat tinggi selama dua tahun. Itu termasuk gaji Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan pejabat tinggi lainnya.

Tak hanya itu, ia juga memotong gajinya dari sekitar 8000 USD menjadi 4000 USD. Memang, gaji pejabat Ekuador termasuk tertinggi di kawasan Andean. Dengan pemotongan gaji itu, Correa menyelamatkan APBN tanpa memangkas subsidi sosial rakyatnya.

7. Evo Morales

Evo Morales adalah Presiden pribumi pertama dalam sejarah Bolivia. Seperti kebanyakan pribumi Bolivia lainnya, Evo kecil sangat miskin dan menghabiskan masa kecilnya dengan menggembala domba. Karena tekanan kemiskinan itu pula, Evo tidak bisa menuntaskan pendidikannya.

Evo adalah seorang petani. Penderitaan yang dialami oleh petani membuat Evo tertarik bergabung dalam serikat petani koka. Pada tahun 1995, ia turut mendirikan partai gerakan sosial bernama Gerakan untuk Sosialisme (MAS).

Dalam pemilu 2005, Evo memenangkan pemilu Presiden. Ia resmi menempati jabatannya Januari 2006. Begitu ia menempati jabatannya, Evo mengumumkan pemotongan setengah gajinya untuk meningkatkan jumlah guru dan dokter.

“Kita membutuhkan 6000 guru baru dan membutuhkan uang 2.200 USD,” katanya. Ia juga menyerukan agar menterinya mengikuti langkahnya. “Bukan untuk Evo, tetapi untuk rakyat,” tambahnya.

Ketika Peru dilanda gempa bumi, pada tahun 2007, Evo juga mendonasikan separuh gajinya untuk korban gempa. Begitu pula ketika terjadi gempa di Haiti dan Chile, Evo juga memotong separuh gajinya dan gaji Wakil Presiden untuk disumbangkan ke rakyat Chile dan Haiti.

Selama menjadi Presiden, penampilan Evo tidak berubah. Ia lebih sering memakai pakaian sederhana, seperti jaket kulit atau sweater biasa. Ia juga tidak meninggalkan kebiasan kaum pribumi mengunyah daun koka.

8. Ahmadinejad

Ahmadinejad, yang pernah menjadi Walikota Teheran, Ibukota Iran, resmi menjadi Presiden tahun 2005. Saat itu, ia diminta mengumumkan kekayaannya. Ternyata, kekayaannya hanya satu rumah sederhana seluas 175 meter persegi dan mobil Peugeot putih keluaran 1977.

Selain itu, ketika baru menempati jabatannya, ia meminta pembantunya menggulung karpet antik peninggalan Persia di istana negara dan menggantinya dengan karpet biasa. Ia menolak kursi V.I.P di pesawat Kepresidenan.

Ahmadinejad selalu berusaha menggambarkan dirinya tidak berjarak dengan rakyat kebanyakan. Beberapa fotonya beredar di dunia maya memperlihatkan Ia tertidur pulas di atas karpet biasa.

9. Lula Da Silva

Lula Da Silva adalah Presiden Brazil yang berlatar-belakang aktivis buruh. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Lantaran itulah ia harus meninggalkan bangku Sekolah Dasar. Sejak usia 12 tahun, Lula kecil hidup di jalanan, jadi tukang semir sepatu dan menjual kacang.

Pada usia 14 tahun, Ia bekerja di pabrik pengolahan tembaga dan menempati posisi operator mesin bubut. Lima tahun kemudian, ketika ia bekerja di perusahaan otomotif, ia kehilangan jarinya karena kecelakaan kerja. Namun, kejadian itulah yang mendorong Lula mengorganisir kawan-kawannya sesama pekerja untuk membangun serikat dan memperjuangkan hak-haknya.

Di bawah kediktatoran, Lula tampil sebagai aktivis kiri penentang kediktatoran. Tahun 1971, Lula terpaksa menyaksikan Istrinya, Maria de Lourde, yang menderita penyakit hepatitis, meninggal karena ketiadaan uang untuk membeli obat. Tahun 1978, Ia menjadi Presiden Serikat Buruh Pabrik Baja. Ia juga terlibat dalam pendirian Partai Buruh (PT).

Tiga kali maju sebagai Calon Presiden, Lula akhirnya terpilih pada tahun 2002. Pertama kalinya dalam sejarah Brazil dipimpin oleh Presiden berhaluan kiri dan dari latar-belakang klas pekerja.

Begitu menjadi Presiden, Lula tidak mengubah kehidupannya. Ia tetap berpenampilan sederhana. William Gonçalves, seorang Professor di Universitas Negara Rio De Jeneiro, mengatakan, “Lula adalah rakyat. Ia mengerti perasaan mereka dan berbicara dengan bahasa mereka.”

Lula terpilih dua kali sebagai Presiden Brazil. Masa pemerintahannya dianggap sangat sukses. Tak heran, tingkat penerimaan rakyat terhadap pemerintahan Lula mencapai 80%.

Raymond Samuel



Read more ...

ASAL USUL PANCASILA




Pohon sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu adalah Pancasila.

Pohon sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.

Akan tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.

Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”

Dengan demikian, banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan tersebut.

BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.

Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.

Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.

Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.

Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.

Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak benar!”

Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.

Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.

Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.

Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.

Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.

Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.

Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).

Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.

G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.

Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”

Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.

Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.

Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.

Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani Pancaҫila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan penobatan).

Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.

Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.

Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing. (Rudi Hartono)



Read more ...

DOUWES DEKKER DALAM PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA




Nama Douwes Dekker mengacu pada nama dua orang. Yang pertama, Eduard Douwes Dekker, sering menggunakan nama pena “Multatuli”, adalah penulis novel terkenal berjudul “Max Havelelaar”. Sedangkan yang kedua adalah Ernest Douwes Dekker, punya nama Indonesia Danudirja Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia dan pendiri organisasi politik bernama Indische Partij.

Kita akan bercerita tentang Ernest Douwes Dekker yang kedua. Ki Hajar Dewantara, salah seorang rekan seperjuangannya, menyebut Ernest Douwes Dekker sebagai pencipta Partai Kebangsaan Indonesia—sering disebut Indische Partij.

Tujuan Indische Partij adalah kemerdekaan Hindia. Saat itu, nama “Indonesia” belum dikenal. Nama “Indonesia” sendiri baru diciptakan oleh Perhimpunan Indonesia di Deen Haag, Negeri Belanda, pada tahun 1920-1921. Nama Indonesia resmi diadopsi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922.

Indische Partij didirikan oleh Ernest Douwes Dekker bersama dua tokoh pergerakan Indonesia lainnya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya sering dinamai “Tiga Serangkai”.

Dekat dengan rakyat pribumi

Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker, seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann, seorang indo campuran Jerman-Jawa.

Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.

Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun meninggalkan pekerjaan.

Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.

Jurnalis kritis

Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24 tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.

Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.

Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.

Bataviaas Nieusblad tak bisa lagi dijadikan alat pergerakan. Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De Express. De Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.

Mendirikan Indische Partij

IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.

Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22 Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”

IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25 Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur): Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai wakil.

Tekanan propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.”

Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia” sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering. HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.

Douwes Dekker mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang, yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi Shiraishi.

Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.

IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”) Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!

Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya, Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.

Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun segera dibubarkan penguasa kolonial.

Pro-Republik sampai akhir

Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di Indonesia. Douwes Dekker juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.

Begitu jepang mendarat di Indonesia, Douwes Dekker diangkut ke Suriname—salah satu jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.

Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Douwes Dekker berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara: Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang memberi nama “Danudirja Setiabudhi”. Danudirja berarti banteng yang kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.

Di kabinet Sjahrir, Douwes Dekker sempat menjadi salah seorang menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden, sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangka, termasuk Douwes Dekker.

Pada tahun 1949, Douwes Dekker kembali dan menempati rumah yang sudah reot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker menghembuskan nafas yang terakhir.





Read more ...
Designed By LMND BENGKALIS